Menapakkan kaki ke Jogja tujuh tahun yang lalu, saya terkesima dengan papan-papan nama jalan yang ditulis selain menggunakan alfabet latin, namun juga dengan aksara Jawa: hanacaraka. Saya bertanya kepada pak sopir di samping saya, apakah semua orang mengerti dengan apa yang tertulis dengan aksara Jawa tersebut. Dia menjawab, « Ya mengerti saja.. lha wong di atasnya kan ada huruf latin yang bisa dibaca ». Dengan penuh percaya, saya mengangguk-angguk tanda setuju.
Pertama kali datang ke Jogja saya tak bisa berbahasa Jawa walaupun saya adalah keturunan asli orang Blitar, Jawa Timur. Tujuh tahun kemudian, saya sudah mengerti berbahasa Jawa a la Jogja, namun tetap saya masih tidak bisa membaca aksara Jawa yang melingkar-lingkar itu. Kenapa? Karena memang saya tak pernah memelajarinya. Yang saya tahu, hanacaraka bisa digunakan sebagai bahasa plesetan prokem yang biasa digunakan oleh kaum muda Jogja. Plesetan tersebut kemudian dipopulerkan oleh perusahaan kaos Dagadu : Matamu!
Aksara Jawa memang sebuah aksara yang kian lama kian hilang penggunanya. Beberapa kawan saya yang asli Jogja tidak tahu apa yang harus dibaca ketika berhadapan dengan rangkaian aksara hanacaraka, apalagi saya! Lama kelamaan aksara ini akan hilang dari bumi Indonesia, dan berpindah ke negeri Ratu Wilhelmina sana. Kok bisa? Ya, bisa saja! Namanya barang tidak dipelihara pasti mudah untuk diambil alih. Dan orang Belanda memang terkenal paling awet dalam memelihara benda-benda peninggalan sejarah.
Bicara soal aksara Jawa [dan pelestariannya], rupanya salah seorang kawan di Jumatan memiliki sebuah situs yang memberikan layanan untuk menuliskan nama/kata dalam aksara Jawa. Cukup menarik mengingat web tersebut satu-satunya yang saya temui di internet. Web tersebut dibuat dengan Joomla! dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Terdapat penjelasan singkat beserta contoh mengenai aksara Jawa yang berguna sebagai pendahuluan.
Namun, sayangnya saya belum menemukan fasilitas free trial untuk pengunjung di mana mereka bisa mencoba untuk menerjemahkan barang satu atau dua buah kata sebagai contoh. Mungkin karena layanan ini tidak terotomatisasi [seperti translator pada umumnya] sehingga layanan translasi masih dilakukan secara manual.