Mari Tidur di Dalam Masjid!

Amboi nikmatnya! Duduk bersila, terbungkuk, dengan wajah menatap lantai dan tangan bertelekan pada paha. Lamat-lamat suara khatib yang berkhutbah di sound system masjid, bagaikan alunan merdu suara Siti Nurhaliza yang membelai telinga. Tak terasa waktu berlalu hingga Muadzin berdiri dan melagukan iqamah: Allahu Akbar… Allahu Akbar… Asyhadu’alla Ilaaha Illallahu Wasyhadu’anna Muhammdar Rasuluulullah Hayya alasholah… Hayyaa’alalfalaah […]

Ide

Amboi nikmatnya! Duduk bersila, terbungkuk, dengan wajah menatap lantai dan tangan bertelekan pada paha. Lamat-lamat suara khatib yang berkhutbah di sound system masjid, bagaikan alunan merdu suara Siti Nurhaliza yang membelai telinga. Tak terasa waktu berlalu hingga Muadzin berdiri dan melagukan iqamah:

Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Asyhadu’alla Ilaaha Illallahu
Wasyhadu’anna Muhammdar Rasuluulullah
Hayya alasholah… Hayyaa’alalfalaah
Qadkaamatishalaah… Qadkaamatishalaah…
Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Laa ilaa ha illallaahu…

Sejurus kemudian kau terbangun dan mengambil takbir. Tapi lupa mengambil wudhu!

Mungkin pernah (pasti pernah) kita mengalami hal tersebut. Tertidur di majelis shalat Jumat saat Khatib sedang berkhutbah dan terbangun saat Muadzin beriqamah. Sungguh kuat benar godaan waktu shalat Jumat. Sebab saat itulah saat-saat puncak kita merasakan pertengahan dari aktivitas kita seharian. Badan terasa penat, mata berat terkantuk, dan ditambah dengan sapuan angin dari fan yang berputar di langit-langit masjid, serasa dininabobokan dan berangkat tidur dalam duduk.

Hal ini pulalah yang saya alami hari ini. Bukan saya, tetapi lelaki di samping saya. Saya memang pernah tertidur waktu Jumatan, tetapi dulu semasa SMA. Dan sang lelaki inipun mengingatkan saya tentang bagaimana nikmatnya tertidur selama Jumatan.

Hari ini memang panas dan Khatib yang menyampaikan khutbah nampaknya tidak menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa pengantarnya. Tuturan bahasa Jawa Krama yang dipakainya nampaknya tidak dimengerti oleh sebagian jama’ah Jumat (termasuk saya) sehingga khutbah tersebut lebih kepada orasi tanpa makna. Tak memenuhi prinsip-prinsip berkomunikasi bahwa komunikator harus menggunakan tanda dan simbol-simbol yang dimengerti dan disepakati oleh komunikan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dimengerti dengan baik.

Sebab itu, khutbah lebih terasa sebagai masa penantian. Maka, lelaki sebelahku pun tertidur. Amboi nikmatnya! Ingin rasanya ku juga tertidur tapi ku teringat bahwa tidur adalah perkara yang dapat membatalkan wudhu. Aku tak ingin repot untuk berwudhu kembali dan menjadi masbuk yang tak kebagian tempat sujud, maka aku bertahan agar tidak jatuh ke dalam tidur.

Aku selamat terjaga hingga khatib menutup khutbah. Sang lelaki di sampingku terbangun dan lupa mengambil wudhu. Mungkin ia tidak lupa, hanya tak ingin repot saja. Sebab ia akan kehilangan tempat jika harus keluar mengambil air wudhu. Maka ia memilih untuk kehilangan pahala.

Pahala? Iya, shalat dalam keadaan tak berwudhu ‘kan tidak diterima. Itu kata Allah. Ya Wallahu ‘alam. Aku tak bisa menentukan apakah lelaku di sampingku beroleh pahala atau tidak, karena seujung kuku pun itu bukan urusanku.

Yang boleh saya pertanyakan adalah bolehkah khatib berkhutbah tidak dengan bahasa nasional manakala sebagian besar jama’ah bukanlah orang yang mengerti bahasa daerah? Bukankah itu akan menghilangkan pemahaman dari sebagian jama’ah lalu dapat dengan mudah memancing jama’ah untuk tertidur di dalam masjid?