Sistem Rutinitas Bill

Pukul 6.30 pagi. Aku telah menyetel alarm pada ponselku yang pasti akan membuatku terbangun dalam lima menit lagi. Aku ingat bahwa aku menyetelnya dengan penuh kesadaran malam tadi, hanya saja aku tak setuju dengan waktunya. Kalau saja aku bisa memulurkan waktunya lebih panjang, sehingga aku bisa tidur lebih panjang pagi ini. Tapi aku tidak bisa. […]

Ide

Pukul 6.30 pagi. Aku telah menyetel alarm pada ponselku yang pasti akan membuatku terbangun dalam lima menit lagi. Aku ingat bahwa aku menyetelnya dengan penuh kesadaran malam tadi, hanya saja aku tak setuju dengan waktunya. Kalau saja aku bisa memulurkan waktunya lebih panjang, sehingga aku bisa tidur lebih panjang pagi ini.

Tapi aku tidak bisa. Ada sistem yang aku harus patuhi yang membuat aku harus terjaga setiap pukul enam tigapuluh lima pagi. Orang bilang itu sistem rutinitas. Selama limabelas tahun aku telah hidup dalam sistem tersebut dan terkadang (malah lebih sering kali ini) aku berpikir untuk mengabaikan sistem tersebut.

Tapi aku tidak bisa. Sistem itu kini telah menjadi perangkap yang mengatur segala kegiatan dan aktivitas bukan hanya diriku, namun juga setiap orang.

“Tittiittt…tittiittt…tittiittt…”

Itu bukan bunyi titit, melainkan ponselku yang sejak tadi aku ramalkan akan berbunyi dalam lima menit ke depan. Kuraih ponsel tersebut dan kutekan tombol ”Disable” sehingga ia tak lagi berbunyi dan aku kembali tidur. Namun dalam sepuluh detik, ponsel tersebut kembali berbunyi dan kali ini lebih keras. Kembali kutekan “Disable” dan berharap agar ia tak lagi berteriak.

Namun semuanya berada di luar kendaliku. Lebih keras lagi ia berteriak dengan bunyi-bunyian yang memekakkan telinga. Aku tahu jika aku menekan tombol Disable sesuatu akan terjadi dan aku harus bersiap karenanya.

Dengan langkah perlahan aku menuju lemari pakaian dan meraih tongkat elektrik 10.000 watt, lalu kusembunyikan ia di balik bajuku. Sambil mengendap kuraih ponsel dan menekan “Disable” untuk yang ketiga kalinya.

Benar saja. Seperti dalam film Transformers yang fiksi itu, sang ponsel serta merta mengeluarkan tangan, kaki dan berubah menjadi sebuah robot setinggi 120cm. Seketika itu langsung kuayunkan tongkat elektrik yang sedari tadi aku siapkan ke arah kepalanya. Gotcha!!

Namun sial, ternyata robot tersebut lebih gesit dari dugaanku. Ia hanya menggeser kepalanya 5cm dari semula dan sukses mengelak dari ayunan tongkatku. Dengan senyum seringai tipis, ia meraih tanganku dan berbalik menembakkan pulsar ke arahku. Aku terkulai.

“Tak ada gunanya melawan. Sekarang bangun dan bersiap untuk bekerja”, hardiknya.